Senin, 16 Juli 2007

SANG INSPIRATOR (KISAH HEROIK SEORANG PENYANDANG CACAT)

Pas lagi iseng2 nyari artikel ngga sengaja kutemuin sebuah blog tentang perjalanan hidup seorang penyandang cacat yang kemudian bertekad menjadi petinju hingga akhirnya sukses mencatatkan sejarah pernah mengalahkan petinju yang tercatat dalam "Hall Of Fame". Kisah ini bagus untuk diceritakan bagi anak-anak, para pemuda, penyandang cacat dan secara umum adalah orang-orang yang tertarik pada makna-makna kesuksesan. Penulisnya sendiri awalnya hanya bermaksud memberikan sebuah masukan bagi para broadcaster khususnya mereka yang terjun dalam dunia penyiaran. Atas seizin penulisnyalah akhirnya tulisan ini dapat diterbitkan dalam, beliau adalah seorang jurnalis senior dan juga penyiar radio internasional Singapura yang sering kita dengar sebagai Bang JaFF. Selamat membaca dan semoga bermanfaat!

Syamsul Anwar Harahap

Ditulis oleh JaF pada Juni 11th, 2006


Orang-orang sibuk nonton piala dunia, saya malah teringat Syamsul Anwar Harahap. Beliau ini adalah seorang yang sangat amat saya kagumi. Bukan hanya karena beliau adalah satu dari sedikit olahragawan Indonesia yang bermutu bahkan rasanya patut disebut legenda, tapi juga karena jalan hidupnya yang sangat inspiratif dan patut menjadi pelajaran bagi siapa saja, termasuk para insan radio siaran. Tapi apa hubungannya Syamsul Anwar Harahap dengan radio? Begini ceritanya…

Istora Senayan, Jakarta, Jumat, 3 Mei 1985. Meski dengan muka bengap dan bermandikan keringat Elyas Pical tersenyum bangga ketika wasit Joe Cortez mengangkat tangannya sebagai tanda kemenangan. Di sudut ring, petinju Korea Selatan Ju Do Chun terduduk lemas. Kesadarannya belum terkumpul sempurna akibat dihantam pukulan tangan kidal Pical yang cepat dan menyengat bak rudal exocet yang dilepaskan oleh pesawat tempur Inggris yang mampu mencari setiap titik lemah musuh di atas dataran kepulauan Malvinas.

Pical sendiri mukanya bengap, nafasnya ngos-ngosan. Ada sobekan di mata kirinya yang masih dialiri darah meskipun Khairus Sahel yang selalu setia mendampingi terus berupaya mengoleskan sejenis salep yang bisa mempercepat pembekuan darah namun tetap saja kembali berdarah di hantam pukulan bertubi-tubi dari Ju Do Chun. Herannya sejak 8 ronde terakhir Pical seolah tak melawan. Ia membiarkan dirinya dipukuli. Pical hanya menari-nari di atas ring menunggu Ju Do Chun menguras tenaganya. Dengan gaya Peek A Boo ala Cus D’Amato kedua tangan Elly menutup mukanya menjaga agar jangan ada pukulan telak yang masuk. Sesekali ia merentangkan tangannya menahan Ju Do Chun untuk merangsek masuk.

Waktu itu pun datang. Elyas Pical melihat ada titik lemah pada Ju Do Chun yang mulai kehabisan tenaga, dan.. ciluk.. ba..! rudal exocet di tangan kiri Pical terbang menuju sasaran. Ju Do Chun tertipu, tak sempat menangkis. Taktik menatap mata lawan untuk mengantisipasi arah pukulan ternyata gagal diterapkan oleh Ju Do Chun karena mata Elyas Pical yang agak -maaf- jereng rupanya berhasil menipu mata petinju Korea Selatan itu. Sebelum sempat sadar akan kesalahannya, rudal exocet Pical sudah keburu sampai di sasaran. Dagu Ju Do Chun serasa tersengat, kesadarannya hilang, kesimbangan tubuhnya kacau balau, dunia berputar, dan ia pun rebah di atas kanvas diiringi teriakan histeris penonton Istora Senayan yang sejak ronde pertama sudah ramai menggemakan seisi Istora dengan teriakan Ely.. Ely.. Ely… Sejarah mencatat momen itu sebagai saat pertama seorang warga Indonesia memegang gelar juara tinju dunia, lengkapnya juara dunia kelas Bantam versi Federasi Tinju Dunia, IBF.

Heh.. 20 tahun lebih sejak peristiwa itu terjadi namun gambaran itu masih saja lekat di ingatan. Saya benar-benar terpukau oleh pertandingan bersejarah itu. Bukan hanya oleh tayangan pertandingannya di televisi, tapi juga oleh ulasan seorang Syamsul Anwar Harahap yang sangat deskriptif dan kaya dengan penjelasan-penjelasan yang rasanya sudah jarang saya dapat dari komentator-komentator olahraga saat ini. Bayangkan, seorang penonton diajak untuk ikut merasakan seperti apa rasanya saat muka kita ditinju dari dari berbagai arah. Saya masih ingat bagaimana ia bercerita tentang efek dipukul di bagian wajah khususnya mata yang bisa mengaburkan pandangan namun dengan mudah bisa pulih. Pandangan yang kabur akan lebih lama pulih ketika kita ditinju di dagu dengan upper cut karena efeknya sampai ke otak dan membuat koordinasi otak kacau balau dan keseimbangan hilang. Saya juga masih ingat bagaimana menurutnya pukulan upper cut dari bawah ke arah solar plexus atau di sekitar ulu hati bisa berdampak parah pada keseimbangan tubuh dan menyebabkan sesak nafas dan itu yang terjadi ketika Wayne Mulholland atau Cesar Polanco terkena rudal exocet Elyas Pical hingga KO.
Apa yang bisa kita pelajari dari seorang Syamsul Anwar Harahap? Paling tidak saya menangkap tiga hal berikut ini:
1. Pengetahuan.
Ya memang wajar saja memang kalau seorang Syamsul Anwar Harahap memiliki pengetahuan luas soal tinju. Itu adalah dunianya. Tapi tidak banyak yang tahu bahwa abang kita ini juga adalah seorang penggila buku. Ia lahir dengan cacat yang menyebabkan tangan kanannya tidak bisa digerakkan. Beruntung ibunya adalah seorang yang gila baca. Dalam sebuah buku berjudul “Bukuku Kakiku” yang mengulas tentang pengalaman sejumlah tokoh terkenal dengan buku, Syamsul Anwar -salah seorang tokoh yang juga menulis di buku itu- bercerita tentang bagaimana sang ibu suatu hari menunjukkannya sebuah artikel dari majalah yang bercerita tentang sosok Wilma Rudolf, juara lari 100 meter putri pada olimpiade Roma tahun 1960 (Bukuku Kakiku: Gramedia, 2004, Hal. 366). Wilma menjadi inspirasi banyak orang karena ia lahir dengan cacat di kakinya tapi bisa menjadi wanita tercepat di Amerika pada masanya.
Syamsul kecil sangat terkesan dengan sosok WIlma Rudolf itu dan dibawanya sampai besar hingga mempengaruhi karirnya. Semua itu, tulisnya, adalah berkat ibunya yang rajin membaca. Kebiasan itu pun menular pada dirinya. Saat bertanding ke banyak negara, tak lupa ia selalu menyempatkan membeli berbagai macam buku, bukan hanya buku tentang tinju. Hasilnya nampak pada berbagai ulasannya hingga kini di beragam media massa. Nampak sekali betapa saratnya pengetahuan sang petinju kita ini.
2. Kemampuan Bercerita
Pelajaran berikutnya dari seorang Syamsul Anwar Harahap adalah kemampuannya bercerita. Pengetahuan yang banyak jika tak diimbangi dengan kemampuan bercerita yang baik rasanya tidak akan banyak bermanfaat. Di kampus dulu, saya kenal seorang Professor yang luar biasa padat pengetahuannya, tapi tak pandai menjelaskannya pada orang lain. Walhasil, kami para mahasiswa selalu kerepotan menangkap ceritanya. Saat itu kami selalu berharap asisten dosennya - yang bahkan belum berstatus S1 - yang bisa menggantikannya karena ia pandai sekali menjelaskan berbagai konsep-konsep rumit dengan cara menarik.
Syamsul Anwar adalah orang yang diberkati dengan kemampuan bercerita yang menarik. Tak seperti banyak komentator olahraga sekarang yang terkesan hanya membaca data sattistik mentah, atau bercerita dengan nada datar - nyaris seperti orang baca berita - padahal di lapangan orang sedang berlari-lari mengejar bola atau sedang seru-serunya saling pukul di atas ring. Syamsul tahu kapan harus membeberkan data dan pengetahuannya, kapan harus berteriak, kapan harus diam. Ia tahu cara memainkan tekanan dan intonasi suara untuk mendramatisir ceritanya.
Biar kalah sabung, asal menang sorak! Itu istilah yang dipakai oleh Nuim Khaiyat, seorang penyiar senior di Radio Australia. Rasanya kami tidak bicara soal tinju ketika Bang Nuim menyebutkan istilah ini. Istilah itu terkait dengan betapa pentingnya seorang penyiar harus memiliki pengetahuan tentang berbagai macam hal untuk memperkaya ceritanya dan seorang penyiar pada dasarnya adalah tukang cerita.
3. Kemampuan Deskripsi
Di dunia radio, kemampuan bercerita atau bertutur harus dibumbui pula dengan kemampuan deskripsi yang akurat. Radio Is A Theater Of Mind!, itu kata bos saya dulu di Jakarta yang kini menjadi GM sebuah jaringan radio terkenal di Indonesia. “Elu, harus bisa menggambarkan dengan kata-kata persis dengan apa yang lu lihat dengan mata lu!” katanya berapi-api pada kami para reporter baru yang rata-rata berasal dari media cetak. Ia -saya masih ingat betul- sangat kesal mendengarkan laporan langsung kami dari situasi demonstrasi zaman-zaman era reformasi. Rata-rata gaya laporan kami waktu itu sangat datar, persis seperti membaca berita tertulis, sementara suara di latar belakang adalah orang-orang berteriak dan suara tembakan dimana-mana. Saking kesalnya, dia sempat turun lapangan dan mengirimkan laporan langsungnya dengan gaya bercerita dan deskripsi yang membuat kami semua melongo -untuk tidak menyebut kata minder-.
Nah, kembali ke Bang Syamsul Anwar. Selain kemampuan bercerita, ia juga sangat deskriptif. Saya masih ingat betul bagaimana walau dengan menutup mata sekalipun di depan TV, atau mendengarkan laporannya di radio, saya bisa tahu ke arah mana Pical menyarangkan pukulannya dan bagaimana reaksi lawannya, di mata sebelah mana ada luka, apakah luka itu besar atau tidak dan lain sebagainya. Saat telinga ini mendengarkannya di radio, mata ini rasanya tidak merasa rugi karena kehilangan perannya.
Deskripsi adalah hal yang paling penting bagi seorang penyiar apalagi reporter. Karena itulah ketika diberi kesempatan menyeleksi reporter baru di radio tempat kerja saya dulu, salah satu cara yang kami lakukan adalah dengan menyuruh mereka pegi ke sebuah tempat yang sudah ditentukan dengan dibekali oleh alat rekam portabel. Di tempat itu mereka harus mendeskripsikan suasana yang mereka lihat ke dalam kata-kata.
Syamsul Anwar Harahap kini masih aktif bergerak di dunia tinju sebagai komentator dan rasanya kita para penyiar perlu belajar darinya.
Salam dari Singapura,
JaF/ Rane

Dikutip dari http://suarane.com/2006/06/11/syamsul-anwar-harahap/

Jombang, 16 Juni 2007